Monday, October 10, 2011

Krama Kutri Siap Hadang Abhiseka Raja

Selasa, 11 Oktober 2011, 05:49

GIANYAR - Bukan hanya para raja se-Bali (semua panglingsir puri) yang menolak rencana abhiseka (penobatan) I Gusti Ngurah Arya Wedakarna sebagai Raja Majapahit. Krama Banjar Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar juga siap menghadang jika Pura Durga Kutri dijadikan tempat upacara abhiseka.

Upacara abhiseka Arya Wedakarna menjadi Raja Majapahit informasinya akan digelar di Pura Durga Kutri, yang berlokasi di Banjar Kutri, Desa Buruan, 11 November 2011 depan. Namun, jika pendukung Wedakarna ngotot melaksanakan upacara abhiseka di Pura Durga Kutri, krama setempat siap menghadang.

Hal ini ditegaskan Kelian Banjar Kutri, I Made Artawan, Senin (10/10). Artawan menjelaskan, sebelum adanya paruman para raja se-Bali di Puri Agung Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Minggu (9/10), yang putuskan menolak abhiseka Raja Majapahit, dirinya sempat menghadiri acara audiensi pihak Wedakarna ke prajuru Banjar Kutri dan para Kelian Pura Durga Kutri.

Audiensi itu dilakukan Sabtu (1/10) malam sekitar pukul 22.00 Wita. Audiensi Wedakarna malam itu, menurut Artawan, dihadiri pula perwakilan Puri Blahbatuh, AA Kakarsana. Saat itu, pihak Wedakarna hanya
menyampaikan akan mendatangkan rombongan untuk sembahyang bersama ke Pura Durga Kutri.

“Namun, kemudian ada berita Wedakarna akan mabhiseka jadi Raja Mapajahit. Seolah-olah, kami prajuru banjar dan pura menyetujui rencana itu,’’ tegas Artawan. Karena merasa tak pernah menyetujui rencana abhiseka, Artawan pun mengaku tidak perlu menanggapi berita itu. Namun, dirinya yakin berita yang tersiar tersebut tidak terwujud, karena tak akan ada izin dari siapa pun untuk penyelenggaraan abhiseka di Pura Kahyangan Jagat Durga Kutri.

“Kami selaku prajuru tetap tegaskan, kalau mau sembahyang silakan. Tapi, kalau abhiseka, jangan di Pura Durga Kutri. Karena tidak lazim di pura ada upacara manusa yadnya seperti itu (abhiseka),” terang Artawan. “Kalau sampai ada upacara abhiseka seperti itu di Pura Duirga Kutri, siapa pun mereka, jelas akan kami hadang,” ancamnya. Kepala Desa (Perbekel) Buruan, I Gusti Ngurah Aryawan, juga menegaskan sikap senada. Pihaknya siap melindungi sikap krama dan Kelian Banjar Kutri demi menjaga kesucian Pura Durga Kutri. Menurut IGN Aryawan, pihaknya memaklumi keputusan paruman raja-raja se-Bali di Puri Agung Peliatan yang menolak abhiseka Raja Majapahit, karena tidak sesuai pakem adat dan budaya Hingu Bali. “Kami jelas tetap mendukung apa yang dilakukan warga kami di Kutri,” tandasnya.

Dikonfirmasi terpisah, pewaris tahta Puri Blahbatuh, AA Kakarsana, mengakui dirinya hadir saat audiensi Wedakarna ke prajuru banjar dan kelian pura di Pura Durga Kutri, 1 Oktober 2011 lalu. Saat itu, Kakarsana dengan tegas menginbgatkan Wedakarna dan pendukungnya yang akan tangkil ke Pura Durga Kutri agar benar-benar hanya untuk sembahyang, bukan yang lain-lain.

“Ya, boleh dibilang saya keras waktu itu. Kalau sembahyang silakan, tapi jangan sampai mau menghias Pura Durga Kutri, buat penjor, atau yang lain,” kenang Kakarsana. Sebelumnya, raja-raja se-Bali sepakat menolak abhiseka Raja Majapahit ini, karena dianggap bisa memicu disintegritas kerukunan hidup bermasyarakat di Bali. Penolakan itu dicetuskan dalam pertemuan raja-raja se-Bali di Ancak Saji Puri Agung Peliatan, Minggu (9/10), yang dihadiri pula Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Semua panglingsir puri se-Bali hadir dalam pertemuan musyawarah para raja ini, termasuk Ketua Paiketan Puri-puri se-Bali, Ida Dalem Semara Putra (pewaris tahta Puri Agung Klungkung). Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, serta spiritualis bintang dharma wacana Hindu, Ida Pedanda Gede Made Gunung (sulinggih dari Griya Purnawati, Desa Kemenuh, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar) juga hadir dalam musyawarah itu. Penolakan dituangkan melalui surat keputusan yang ditandatangani para panglingsir puri.

"Intinya, dalam surat itu menyikapi prilaku kehidupan masyarakat yang berkembang kian tendensius menuju disintegritas kerukunan hidup bermasyarakat. Kami menolak oknum yang mengaku sebagai Raja Majahpahit," jelas Ide Dalem Semara Putra. Ida Dalem Semara Pura memaparkan, berdasarkan aspek bukti kesejarahan, di Bali tidak pernah ada Raja Majahpahit. Kendati Bali pernah di bawah kendali Kerajaan Majahpahit periode tahun 1352-1677 Masehi, menurut Ida Dalem, ketika itu Bali Dwipa dikendalikan oleh Dalem Ketut Shri Adji Kresna Kepakisan, didampingi para arya. Kemudian, menurunkan para raja se-Bali sampai Kerajaan Klungkung (Kerajaan Gelgel). "Atas dasar inilah, kami tidak mengakui adanya abhiseka Raja Mahajapahit di Bali," katanya. Sementara itu, Arya Wedakarna mengaku tidak memasalahkan adanya keberatan dari raja-raja se-Bali atas abhiseka jadi Raja Majapahit ini. “Keberatan para panglingsir puri, ya saya persilakan saja. Ini negara demokrasi, siapa pun berhak bicara. Saya cuma ingin menegaskan bahwa saya menyayangkan sikap tetua yang masih berpikirsan sempit,” jelas Wedakarna di Denpasar, Senin kemarin.

“Saya diabhiseka jadi Raja Majapahit lewat proses pada 31 Desember 2009. Tetua-tetua menitipkan amanat dan memberikan gelar, juga pusaka-pusaka dari seluruh Indonesia ke saya. Jadi, salahnya apa? Saya ini doktor, tidak percaya dengan hal-hal mistis, tapi kalau dikasi amanat saya jalankan. Toh saya juga darah biru trah Dalem, sama posisi seperti mereka,” imbuh politisi PNIM yang memiliki nama lengkap Dr Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendratta Wedastera Putra Suyasa III, dengan gelar Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan I ini.

Wedakarna menegaskan, leluhurnya adalan Ida Batara Tegeh Kori dan Raja Bali Sri Aji Kresna Pepakisan. “Jadi secara darah, saya berhak membela dan mengangkat nama baik leluhur saya. Di Bali tidak boleh ada memonopoli sejarah. Selama ini, perjuangan saya tidak menganggu siapa pun. Saya bijaksana saja, tetap maju terus untuk leluhur nusantara,” katanya. (Baca Juga: Saya Lahir dari Keluarga Pemimpin) Soal kemungkinan melakukan gugatan atau proses hukum atas sikap raja-raja se-Bali, Wedakarna menyatakan tidak perlu. Dia mengaku percaya dengan hukum karma. “Masyarakat bisa menilai kinerja saya dengan kinerja mereka. Saya ingin menjadi raja di hati rakyat. Jika ingin protes, silakan tanya sulinggih dan sesepuh Majapahit di Jawa yang mengangkat saya. Mereka salah alamat,” terang politisi yang akademisi Universitas Mahendradatta Denpasar ini.

sumber : NusaBali

No comments:

Post a Comment