Senin, 10 Oktober 2011, 04:49
GIANYAR - Rencana abhiseka (penobatan diri) I Gusti Ngurah Arya Wedakarna sebagai Raja Majahpahit, membuat gerah raja-raja (atau oara panglingsir puri) se-Bali. Mereka sepakat menolak abhiseka Raja Majapahit ini. Alasannya, hal ini bisa memicu disintegritas kerukunan hidup bermasyarakat di Bali.
Penolakan itu dicetuskan dalam pertemuan ra-araja se-Bali di Ancak Saji Puri Agung Peliatan, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Minggu (9/10), yang dihadiri pula Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Semua panglingsir puri se-Bali hadir dalam pertemuan musyawarah para raja ini, termasuk Ketua Paiketan Puri-puri se-Bali, Ida Dalem Semara Putra (pewaris tahta Puri Agung Klungkung).
Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, serta spiritualis bintang dharma wacana Hindu, Ida Pedanda Gede Made Gunung (sulinggih dari Griya Purnawati, Desa Kemenuh, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar) juga hadir dalam musyawarah di Puri Agung Peliatan kemarin. Paruman selama 3,5 jam yang sejatinya untuk menyikapi berbagai persoalan adat dan budaya ini, kemudian lebih fokus membahas rencana abhiseka Arya Wedakarna sebagai Raja Majapahit.
Dari musyawarah kemarin, muncul kesepakatan para raja se-Bali untuk menolak penobatan Arya Wedakarna (tokoh muda yang notabene Ketua DPD PNI Marhaenisme Bali) sebagai Raja Mapajaphit. Penolakan ini
dituangkan melalui surat keputusan yang ditandatangani para panglingsir puri.
dituangkan melalui surat keputusan yang ditandatangani para panglingsir puri.
"Intinya, dalam surat itu menyikapi prilaku kehidupan masyarakat yang berkembang kian tendensius menuju disintegritas kerukunan hidup bermasyarakat. Kami menolak oknum yang mengaku sebagai Raja Majahpahit," jelas Ide Dalem Semara Putra seusai paruman di Puri Agung Peliatan kemarin.
Ida Dalem Semara Pura memaparkan, berdasarkan aspek bukti kesejarahan, di Bali tidak pernah ada Raja Majahpahit. Kendati Bali pernah di bawah kendali Kerajaan Majahpahit periode tahun 1352-1677 Masehi, menurut Ida Dalem, ketika itu Bali Dwipa dikendalikan oleh Dalem Ketut Shri Adji Kresna Kepakisan, didampingi para arya. Kemudian, menurunkan para raja se-Bali sampai Kerajaan Klungkung (Kerajaan Gelgel).
"Atas dasar inilah, kami tidak mengakui adanya abiseka Raja Mahajapahit di Bali," tegas Ida Dalem. Di samping itu, lanjut Ida Dalem, pihaknya menolak secara tegas setiap usaha untuk mempolitisasi aspek tata kehidupan dan tata upacara agama Hindu dengan dalih apa pun. Panglingsir Puri Kesiman-Denpasar, Anak Agung Ngurah Kusuma Wardana, juga dengan tegas menyatakan penolakannya, "Apa-apaan ini, mendingan main sinetron saja atau menjadi raja 'buduh' sekalian," katanya.
Sementara, Gubernur Mangku Pastika dalam sambutannya sebelum dimulainya paruman para raja se-Bali di Puri Agung Peliatan, Minggu kemarin, menyatakan pihaknya telah mencium kegiatan musyawarah tersebut akan banyak tersita oleh rencana Arya Wedakarna madeg nata (abhiseka) jadi Raja Majapahit. Menurut Pastika, pihaknya mengapresiasi jika ada anak muda dari Bali yang bisa hadir dalam pelbagai kegiatan tingkat regional maupun internasional. Namun, Pastika menyayangkan jika ada warga yang membawa-bawa nama Bali tanpa kapasitas yang jelas dari wilayah yang diwakili.
"Kami mendapatkan aspirasi kalau ada anak muda dari Bali yang mengaku menjadi Raja Majahpahit," katanya. Karena itu, Pastika menunggu hasil keputusan paruman Paiketan Puri-puri se-Bali untuk melakukan tindak lanjut terkait permasalah tersebut.
Selain itu, Pastika juga menggarisbawahi keberadaan puri-puri di Bali yang pegang peranan sangat penting dalam upaya pelestarian adat dan budaya yang dijiwai agama Hindu. Pastika pun meminta kalangan puri untuk menyatukan langkah dan berperan aktif dalam menyukseskan program pembangunan yang bermuara ke peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kalangan puri juga diharapkan Pastika bisa menjadi suri tauladan dalam mengajegkan seni dan budaya Bali. “Sebagai pemucuk krama Bali, saya harapkan para sesepuh puri memberi panutan bagi masyarakat,” pinta Pastika. Selaku Gubernur Bali, Pastika tak lupa mengingatkan sejumlah persoalan yang belakangan banyak muncul ke permukaan, termasuk kasus bernuansa adat. Kondisi ini harus disikapi dan segera dicarikan jalan keluar, jangan sampai berbagai konflik justru menjadi bumerang bagi Bali sebagai destinasi pariwisata dunia. Dalam acara paruman para raja se-Bali kemarini, Ida Pedanda Gede Made Gunung juga angkat bicara terkait rencana abhiseka Arwa Wedakarna sebagai Raja Majapahit. Ida Pedanda mengibaratkan Bali ini sebuah lukisan yang sudah jadi dan memancarkan keindahan. “Jika tiba-tiba datang pelukis baru, terus ikut memberikan warna, sudah barang tentu akan membuat rusak lukisan itu sendiri,” sindir Ida Pedanda.
Sorotan tajam terkait rencana abhiseka Raja Majapahit dalam paruman di Puri Agung Peliatan kemarin disampaukan pewaris tahta Puri Pemecutan-Denpasar, Ida Cokorda Pemecutan. Pria tinggi besar ini bahkan mengajak para raja se-Bali untuk menolak undangan dansekaligus menolak kedatangan Arya Wedakarna terkait rencana abisekanya. "Nyen ento mrekak bani ngaku dadi Raja Majapahit (Siapa itu yang sok berani menganggap dirinya sebagai Raja Majahpahit," sergah Ida Cokorda Pemecutan. "Amongken ya ngelah pasukan, pang tiyang hadapine, tiyang ten takut demi ngetohin gumi (Seberapa dia punya pasukan, biar saya yang dihadapi, saya tidak takut demi mepertaruhkan wilayah/masyarakat)," imbuhnya.
Ida Cokorda Pemecutan juga meminta raja-raja di Bali jangan merasa lebih agung dari yang lain. Soalnya, di Bali tinggal penduduk dari bermacam-macam trah (soroh) yang harus dihormati. “Saya juga saya mohon kepada pedanda atau pamangku, jangan mau jual banten dan muput jika ada upacara yang tidak sesuaui pakem adat dan budaya Bali,” tandas mantan politisi sepuh Golkar yang pernah berkali-kali duduk sebagai wakil rakyat Bali di MPR ini. Sementara itu, paruman para raja se-Bali di Puri Agung Peliatan kemarin merumuskan beberapa keputusan. Selain sepakat menolak rencana abhiseka Arya Wedakarna sebagai Raja Majapahit, paruman para raja juga memutuskan membentuk Sabha Kertha Dharma.
Sabha Kertha Dharma ini menjadi sebuah lembaga yang berfungsi memediasi persoalan-persoalan adat dan keagamaan di Bali. Lembaga Sabha Kertha Dharma ini melibatkan unsur Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, PHDI Bali, Paiketan Puri-puri se-Bali, dan unsur pemerintah.
Selain itu, paruman kemarin juga memutuskan untuk memperitimbangkan dibentuknya Sekretariat Paiketan Raja-raja (Panglingsir Puri) se-Bali, serta membuat program kerja dan pertemuan rutin. Lembaga Sabha Kertha Dharma itu sendiri dibentuk, mengingat selama ini lembaga yang ada seperti MUDP Provinsi, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP), dan PHDI sering tidak tuntas dalam menyelesaikan persoalan yang muncul. “Penyelesaiannya tidak tuntas, salah satunya karena tidak menyimak dari sudut pandang sejarah,” terang Panglingsir Puri Negara (Jembrana), Anak Agung Gde Agung.
Dengan lahirnya lembaga Sabha Kertha Dharma ini, lanjut dia, peran puri sebagai pengayom masyarakat bisa terwujud. Lembaga ini nantinya juga akan mensosialisasikan sejarah dan keberadaan puri di tengah masyarakat. Soal kemungkinan terjadi tumpang tindih karena selama ini adat di Bali sudah memiliki berbagai wadah, menurut AA Gde Agung, membantahnya.
“Karena, masing-masing wadah memiliki peranan yang berbeda-beda,” terang putra mantan Gubernur Bali pertama, almarhum Anak Agung Bagus Sutedja ini. Seusai paruman kemarin, AA Gde Agung juga mengingatkan agar puri-puri di Bali tidak berpolitik praktis. "Puri itu sebagai pengayom masyarakat, jangan berpolitik praktis," kata raja yang juga Ketua Forum Silahturahmi Keraton Se-Nusantara ini. Salah satu politik praktis yang dimaksud AA Gde Agung adalah memasang bendera partai politik di puri.
sumber : NusaBali
No comments:
Post a Comment